Filsafat Dakwah sebagai aktivitas kegiatan dan aktivitas keilmuan dalam memaknai Tri Kompetensi IMM

Nama : Isma Saqila
Nim : 1801056018
Semester : 3
Jurusan : Manajemen Haji dan Umrah
Mata Kuliah : Filsafat Dakwah
Dosen Pengampu : Dr. Hasyim Hasanah, S.Sos.I., M.S.I
Tugas : Observasi Filsafat Dakwah di Lingkungan Masyarakat


viewpdf

LAPORAN OBSERVASI: FILSAFAT DAKWAH SEBAGAI AKTIVITAS KEGIATAN dan AKTIVITAS KEILMUAN dalam MEMAKNAI TRI KOMPETENSI ORGANISASI IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM) UIN WALISONGO SEMARANG
 
Isma Saqila (1801056018) Semester 3 
Manajemen Haji dan Umrah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi 
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang 
2019
 


A.    Pendahuluan: Filsafat Dakwah dan Problem Ontologi 
Filsafat dakwah membicarakan tentang 2 poin pemikiran dakwah, yaitu dakwah sebagai aktivitas kegiatan (Islamisasi) dan dakwah sebagai aktivitas keilmuan. Hal yang sangat mendasar dari kajian filsafat dakwah terletak pada kemampuannya untuk berpikir kritis dan analisis dalam menyikapi berbagai konsep dan praktik dakwah di lapangan. 
Menurut Syukriadi Sambas dalam bukunya yang berjudul Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah mengatakan bahwa dakwah bertitik tolak dari pemahaman terhadap arti hikmah yang diambil dari al-Qur’an. Kemudian dihubungkan dengan pengertian filsafat sebagai kegiatan berpikir sehingga dihasilkan pengertian filsafat dakwah yaitu pemikiran mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh tentang dakwah Islam sebagai sebuah sistem aktualisasi ajaran islam disepanjang zaman.[1]
Filsafat dakwah dapat dirumuskan sebagai cabang ilmu dakwah yang membahas tentang ontologi, epistimologi, dan aksiologi dakwah dalam sistem ajaran islam dan kehidupan manusia. Mencari kebenaran menurut filsafat dakwah dalam poin keilmuan menggunakan metode (riset), pengalaman (empiris) dan percobaan (eksperimen). Sedangkan manusia dalam mencari kebenaran terhadap agama itu dengan jalan atau mempertanyakan (dalam upaya mencari kebenaran) terhadap berbagai masalah dari kitab suci dan firman Illahi. 
Landasan ontologi yang disebutkan Loren Bagus antara lain sebagai cabang filsafat yang mencoba membahas, pertama, melukiskan hakekat ada yang terakhir (yang satu, yang absolut), kedua, menunjukkan bahwa segala hal tergantung pada eksistensinya, dan ketiga, menghubungkan tindakan dan pikiran manusia yang bersifat individual.[2] Problem ontologi dalam filsafat dakwah membicarakan tentang teori pemahaman atau hakekat pengetahuan dan eksistensi keagamaan. Persoalan hakekat pengetahuan yang selalu berkaitan dengan bahasa agama yaitu nilai atau substansial dalam kita yang mnejadi pedoman hidup manusia dan persoalan eksistensi yang berkaitan tentang imani, islami dan ihsani. 
Dalam mengaktualisasikannya, para da’I mesti menabur pesan-pesan agama itu ke segenapaspek kehidupan termasuk kalangan mahasiswa. Selaku agent of change, mahasiswa dituntut untuk berperan aktif dalam meredam penyakit moral seperti pergaulan bebas, korupsi, dan persoalan-persoalan keummatan lainnya. Salah satu organisasi mahasiswa yang masih eksis mengedepankan visi amar ma’ruf nahi munkar adalah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).[3] Sehubungan dengan saya yang tinggal di asrama putri yang bisa dikatakan milik sewaan organisasi IMM UIN Walisongo. Oleh karena itu, observasi yang saya lakukan adalah mengamati perkembangan filsafat dakwah: aktivitas kegiatannya dan keilmuannya di organisasi ini dan menjabarkannya sedikit dilihat dari problem ontologi dalam bentuk laporan.

B.    Tri Kompetensi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) 
Dalam aktivitas akademika, Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah secara mendasar mempunyai Tri Kompetensi sebagai dasar langkah pijakan dalam setiap gerakan, baik gerakan yang bersifat reaktif dan yang bersifat reflektif. Pemaknaan tri kompetensi menjadi persoalan yang sangat mendasar, dimana ketiganya mempunyai hubungan erat saling mengkaitkan antar ketiganya, sehingga setiap diri kader IMM menjadi sebuah keharusan untuk sadar dan faham betul akan esensi dari pada tri kompetensi dasar IMM. Interpretasi terhadap simbol ini tertuang dalam trilogy keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan. Interpretasi keagamaan menjadi religiusitas, kemahasiswaan menjadi intelektualitas, dan kemasyarakatan menjadi liberatif dan humanitas.[4] 
Tri kompetensi itu adalah religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Religiusitas ditekankan seperti halnya pentingnya “Iman” di urutan pertama dimana ini menjadi dasar para kader dalam setiap pijakan sebelum kepijakan yang lainnya. Sehingga letak Relegiusitas di poin pertama menjadi nilai tawar kader IMM sejauh mana keyakinan (Relegiusitas) dalam setiap gerak langkahnya. Poin pertama ini tidak hanya diyakini dalam hati namun dikatakan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan (iman). Intelektualitas digambarkan sebagai memasukkan makanan dalam tubuh. kadernya harus merasa haus akan nilai keilmuan, dengan begitu daya nalar aqliyah akan semakin tumbuh pesat, rasionalisasi dalam setiap kejadianpun menjadi semakin tajam. Spirit intelektualitas menjadi bagian pelansung dari sebuah keimanan (Relegiusitas). Dengan begitu keimanan (Relegiusitas) tidak hanya sebatas magic namun terdapat nilai ketundukan dalam mewujudkannya dengan intelektualitas. Humanitas menjadi bagian akhir dari sebuah rasa keimanan berbalut keilmuan (tidak taqlid) membuahkan hasil amal yang ilmiah. Dengan begitu keseimbangan nalar naqliyah (Iman, Relegiusitas) dan nalar aqliyah (Ilmu, Intelektualitas) adalah modal besar menuju Humanitas (Amal).[5]

C.    Filsafat Dakwah: Internalisasi Nilai-Nilai Islam dan Aktivitas Keilmuan dalam Organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) UIN Walisongo Semarang 
Islam sebagai agama yang mengajarkan kepada penganutnya untuk menyebarkan agama dengan cara hikmah dan bijaksana, agar dengan cara tersebut orang bisa menerima nilai-nilai humanis Islam, dan nilai-nilai bagi kemaslahatan bagi manusia dan alam. Islam dalam konteks bahasa dakwah tidak mengenal dan mengajarkan kekerasan kepada penganutnya, demikian pula yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. dakwah adalah upaya luhur yang direfleksikan dengan berbagai tindakan nyata oleh para juru dakwah dengan tujuan untuk memberikan arahan dan peringatan terhadap realitas masyarakat sesuai dengan konteksnya. 
Tri komepetensi yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam setiap langkah IMM (Religiusitas, Intelektualitas, dan Humanitas), jika dilihat dari kacamata filsafat dakwah, dapat ditemukan bahwa tri kompetensi ini mengandung nilai aktivitas kegiatan dakwah dan aktivitas keilmuannya. Pertama, nilai religiusitas yang mengandung makna (keimanan) keagamaan yang harus dimiliki oleh setiap kader telah terinternalisasi dalam diri kader-kader dan anggotanya. Maksud poin pertama yang tidak hanya diyakini dalam hati namun dikatakan dengan lisan dan diwujudkan dengan perbuatan (iman). Hal ini berhubungan dengan dakwah sebagai aktivitas keagamaan yang terkait dengan hubungan manusia dengan Allah (hamblum min Allah). 
Jika dilihat dari problem ontologi dalam filsafat dakwah yang membicarakan tentang hakekat pengetahuan dan persoalan eksistensi kehadiran/ keberadaan dakwahnya maka religiusitas adalah wujud dari eksistensi imani (keagamaan) dan islami. Berdasarkan apa yang saya amati, salah satu sikap yang merealisasikan nilai ini adalah setiap kegiatan yang diadakan IMM selalu menomorsatukan persoalan ibadah, baik kegiatan dari internal sendiri maupun kegiatan yang diadakan eksternal. Setiap kegiatan yang diadakan tak lepas dari pengetahuan spiritualitasnya. Seperti contoh ketika kegiatan yang sedang berlangsung belum selesai dan waktu shalat lima waktu telah tiba, secara dinamis para kadernya menggerakkan anggotanya untuk memberhentikan kegiatan dan amar ma’ruf dengan persuasif mendirikan shalat terlebih dahulu yang kemudian setelahnya dapat melanjutkan kegiatannya kembali. Hal ini jarang sekali dijumpai pada kegiatan organisasi-organisasi lainnya. Ketika kegiatan yang diadakan organisasi lain dengan tidak adanya schedule acara waktu sendiri untuk mendirikan shalat, berbeda dengan IMM yang selalu membuat schedule shalat di setiap kegiatannya, baik ketika kegiatan itu sebenarnya telah atau belum selesai. Ini berarti tingkat religiusitas yang menjadi dasar kompetensi IMM dalam setiap langkah kegiatannya dapat terealisasikan dengan baik dan gerakan amar ma’rufnya berkaitan dengan persoalan wujud dari keagamaan dan keislaman eksistensi problem ontologi dalam filsafat dakwah sebagai aktivitas keagamaan. 
Kedua, nilai Intelektualitasnya. kadernya harus merasa haus akan nilai keilmuan, sehingga daya nalar rasionalisasi dalam setiap kejadianpun menjadi semakin tajam. Spirit intelektualitas menjadi bagian wujud dari religiusitas. Kembali lagi pada problem ontologi dalam filsafat dakwah, Jika religiusitas berkaitan dengan eksistensinya dan intelektualitas adalah wujud dari religiusitas , maka spirit intelektualitas berkaitan dengan teori pemahaman atau hakekat pengetahuan yang selalu berkaitan dengan bahasa agama yaitu kitab. Al-qura’an dan hadist yang dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani hidup baik itu semua muslim yang berorganisasi ataupun tidak. Pemahaman akan substansi atau nilai dalam kitab dimensi material adalah maksud dari intelektualitas itu sendiri. Seperti contoh kegiatan yang diadakan oleh IMM adalah selalu berkaitan dengan penanaman materi atau teori pemahaman akan sesuatu dengan jalan kajian atau diskusi yang diagendakan berdasarkan waktu baik rutinan, berkala, ataupun even, baik kajian yang dibuka untuk umum ataupun hanya untuk kader dan anggotanya. Hal yang dibahas untuk bahan materi kajian biasanya adalah hal yang bersifat dan dikaitkan dengan ilmu-ilmu umum maupun hal yang dapat dikaitkan dengan ilmu-ilmu agama, dan terkadang materi kajian yang bersifat aktual. Sehingga kader-kadernya diharapkan dapat berpikir secara kritis. Berdasarkan apa yang saya amati ini, artinya intelektualitas yang terealisasikan dalam kompetensi dasar IMM ini sejalan dengan filsafat dakwah sebagai aktivitas keilmuannya. 
Ketiga, nilai humanitas. Keseimbangan rasio religiusitas dan rasio-intelektualitas adalah modal besar menuju Humanitas hasil amal ilmiah. Aktivitas keagamaan dari prespektif humanitas berarti merealisasikan nilai religi dan intelek dalam amal perbuatan. Etika, norma, dan akhlak yang dapat dinilai dan terinternalisasi kedalam diri setiap kader dan anggotanya. seperti contoh hablum min annas yang hampir dimiliki sebagian besar individunya, berbuat dan beakhlak baik kepada siapapun tak pandang usia maupun gender. Contoh lain kegiatan yang diadakan pada waktu accidental seperti penggalangan dana bagi saudara yang terkena dampak musibah atau bakti sosial di masyarakat. Manusia tidak dapat mengingkari karena pada hakekatnya adalah makhluk sosial, dan kembali berkaca pada problem ontologi yang saya gunakan, ini berarti nilai humanitas yang menjadi kompetensi dasar IMM yang direalisasikan dalam setiap gerakan (perilaku praktis sesuai relitas) berkaitan dengan perilaku teknologis dalam menjalani hidup dengan akhlak yang sesuai dengan religiusitas dan intelektualitasnya. Dan ini adala bukti dari perwujudan persoalan eksistensi ihsani dalam filsafat dakwah. 

D.    Penutup: Kesimpulan 
Filsafat dakwah membicarakan tentang 2 poin pemikiran dakwah, yaitu dakwah sebagai aktivitas kegiatan (Islamisasi) dan dakwah sebagai aktivitas keilmuan. Problem ontologi dalam filsafat dakwah membicarakan tentang teori pemahaman atau hakekat pengetahuan dan eksistensi keagamaan. Persoalan hakekat pengetahuan yang selalu berkaitan dengan bahasa agama yaitu nilai atau substansial dalam kita yang mnejadi pedoman hidup manusia dan persoalan eksistensi yang berkaitan tentang imani, islami dan ihsani. 
Dalam aktivitas akademika, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah secara mendasar mengenali Tri Kompetensi sebagai dasar langkah pijakan dalam setiap gerakan. Tri kompetensi itu adalah religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Pertama, nilai religiusitas yang menjadi dasar kompetensi IMM dalam setiap langkah kegiatannya dapat terealisasikan dengan baik dan gerakan amar ma’rufnya berkaitan dengan persoalan wujud dari keagamaan dan keislaman eksistensi problem ontologi dalam filsafat dakwah sebagai aktivitas keagamaan. Kedua, kajian atau diskusi yang diagendakan IMM, baik kajian yang dibuka untuk umum ataupun hanya untuk kader dan anggotanya. Materi kajian adalah hal yang bersifat dan dikaitkan dengan ilmu-ilmu umum maupun hal yang dapat dikaitkan dengan ilmu-ilmu agama. Sehingga kader-kadernya diharapkan dapat berpikir secara kritis. Artinya nilai intelektualitas yang terealisasikan dalam kompetensi dasar IMM ini sejalan dengan filsafat dakwah sebagai aktivitas keilmuannya. Ketiga, hablum min annas yang hampir dimiliki sebagian besar individunya, berbuat dan beakhlak baik kepada siapapun tak pandang usia maupun gender, nilai humanitas yang menjadi kompetensi dasar IMM yang direalisasikan dalam setiap gerakan (perilaku praktis sesuai relitas) berkaitan dengan perilaku teknologis dalam menjalani hidup dengan akhlak yang sesuai dengan religiusitas dan intelektualitasnya. Dan ini adala bukti dari perwujudan persoalan eksistensi ihsani dalam filsafat dakwah. 


DAFTAR PUSTAKA

Sholeh, Ahmad. “IMM Autentik”.Surabaya: Pustaka Saga. 
Supena, Ilyas. 2013.“Filsafat Ilmu Dakwah”. Yogyakarta: Penerbit Ombak. 
Ni’amah, Lutfi Ulfa. Agustus 2016. “Filsafat Dakwah Yang Terabaikan”. Jurnal Kontemplasi, Volume 04 Nomor 01. 
Habibi, Fahman. 2013. “Cara Dakwahnya Kader Muhammadiyah (IMM)”. https://www.kompasiana.com/fahman_habibi/552c54746ea834e05a8b4596/cara-dakwahnya-kader-muhammadiyah-imm. diakses pada 01 Desember 2019. 
Rohim, Baharuddin. 2018. “Integrasi Interkoneksi Tri Kompetensi”. http://www.suaramuhammadiyah.id/2018/12/13/integrasi-interkoneksi-tri-kompetensi/. diakses pada 01 Desember 2019. 




[1]Lutfi Ulfa Ni’amah, “Filsafat Dakwah Yang Terabaikan”, Jurnal Kontemplasi, Volume 04 Nomor 01, Agustus 2016, hlm. 85. 

[2]Ilyas Supena, “Filsafat Ilmu Dakwah”, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), hlm. 12. 
[3]Fahman Habibi, “Cara Dakwahnya Kader Muhammadiyah (IMM)”, 2013, https://www.kompasiana.com/fahman_habibi/552c54746ea834e05a8b4596/cara-dakwahnya-kader-muhammadiyah-imm, diakses pada 01 Desember 2019 pukul 11:38. 

[4]Ahmad Sholeh, “IMM Autentik”, (Surabaya: Pustaka Saga), hlm. 121. 
[5]Baharuddin Rohim, “Integrasi Interkoneksi Tri Kompetensi”, 2018, http://www.suaramuhammadiyah.id/2018/12/13/integrasi-interkoneksi-tri-kompetensi/, diakses pada 01 Desember 2019 pukul 12:24.

Komentar

Posting Komentar